Welcome to my blog

Minggu, 19 Oktober 2008

Meningkatkan daya tarik dokter indonesia melalui narrative medicine


Meningkatkan daya tarik dokter Indonesia Melalui Narrative Medicine
Penulis : Zukhrofi Muzar


Profesi dokter di Indonesia semakin saja menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Namun sayangnya tidak lagi menarik untuk dipuji, namun menjadi hangat dalam bahan sindiran dan gosip. Hal ini tentunya menjadi bahan introspeksi bagi dokter dan juga pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan, sehingga para pelancong kesehatan dapat kembali merasakan hak nya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas di negaranya sendiri.

Pejabat rumah sakit (RS) pemerintah Singapura mengatakan lebih dari seratus ribu warga Indonesia berobat ke Singapura setiap tahunnya. Selain Singapura pasien Indonesia juga mendominasi di sejumlah RS di Malaysia dan Ghuang Zou Cina. Data tahun 2006 menyebutkan jumlah devisa negara yang tersedot ke RS luar negeri mencapai US$600 juta setiap tahunnya. General Manager National Healthcare Group International Business Development Unit (NHG IBDU) Kamaljeet Singh Gill mengungkapkan, sebanyak 50% pasien internasional yang berobat ke Singapura adalah warga Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun, setiap tahunnya, wisatawan medis atau medical tourist yang berobat ke Singapura mencapai 200.000 per tahun. Artinya ada sekitar 100.000 warga Indonesia berobat ke Singapura tiap tahun, atau sekitar 273 pasien setiap harinya. Data lainnya menyebutkan jumlah pasien Indonesia yang berobat di RS Lam Wah Ee Malaysia mencapai 12.000 per tahun atau sekitar 32 pasien per hari. Sementara, di RS Adventist Malaysia jumlah pasien Indonesia yang terjaring mencapai 14.000 per tahun atau sekitar 38 pasien per hari. Sementara jumlah warga Sumatera Utara dan sekitarnya yang berobat ke Penang, Malaysia, mencapai seribu orang setiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa, Indonesia belum mandiri untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyatnya.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan peningkatan kebiasaan berobat ke luar negeri adalah hubungan dan cara berkomunikasi dokter-pasien di Indonesia yang sangat mengecewakan. Banyak opini menyebutkan, cara berkomunikasi dokter-pasien di Indonesia kalah jauh dibandingkan dokter-dokter di luar negeri.
Cara berkomunikasi dokter-pasien yang kurang baik dapat disebabkan oleh karena terlalu banyaknya pasien, dokter bekerja di luar profesionalismenya, dan kekhawatiran malpraktik yang membuat dokter cenderung menutup diri dan mempersiapkan proteksi terhadap segala kemungkinan. Hal ini tentu berefek pada pengaduan-pengaduan akan ketidakprofesionalan dokter.

Berdasarkan data Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) DKI Jakarta, terdapat 99 kasus pengaduan terhadap profesi dokter dari tahun 1998-2006 (8 tahun). Menurut MKEK hal yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien.

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 35 disebutkan kompetensi dalam praktik kedokteran antara lain dalam hal kemampuan mewawancarai pasien. Namun undang-undang tersebut belum dapat meningkatkan profesionalitas dokter Indonesia secara signifikan karena tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas disiplin ilmu yang mendasarinya, yaitu optimalisasi hubungan dokter-pasien.

Komunikasi efektif dokter-pasien

Selama ini komunikasi dokter-pasien dapat dikatakan terabaikan. Wawancara terhadap pasien ditekankan pada pengumpulan informasi dari sisi penyakit (disease) untuk menegakkan diagnosis dan tindakan lebih lanjut . Informasi sakit dari pasien (illness) kurang diperhatikan. Pasien umumnya merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter (superior-inferior), sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai pertanyaan dokter saja. Ketidaksempurnaan dokter dalam membangun komunikasi terhadap pasien akan berakibat buruk terhadap proses terapeutik yang dikelolanya nanti. Karena tak jarang, dokter terlalu intervensif dalam melakukan anamnesis. Penelitian yang dilakukan di Swiss, menyimpulkan pasien rata-rata hanya butuh waktu dua menit untuk menyelesaikan semua keluhan yang dirasakan. Menurut Dr. Wolf Langewitz dari University Hospital di Basle, gejala serupa hampir terjadi di semua negara. “Diperkirakan dokter mengambil alih pembicaraan setelah 30 detik.

Namun paradigma baru yang senapas dengan ketentuan undang-undang, hubungan dokter-pasien adalah kemitraan. Dengan ini komunikasi efektif menjadi hal yang wajib diperhatikan. Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Atas dasar kebutuhan pasien, dokter melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien. Kurtz juga menambahkan dengan kemampuan mengerti harapan, kepentingan, kecemasan, dan kebutuhan pasien, maka patient-centered communication style tidak memerlukan waktu lebih lama daripada komunikasi berdasarkan kepentingan dokter untuk menegakkan diagnosis (doctor-centered communication style)

Melihat pentingnya memperbaiki kualitas komunikasi dokter pasien, maka para penelti telah mengembangkan sebuah disiplin. Disiplin yang juga disebut dengan seni ini disebut dengan sikap seni narrative medicine.

Narrative medicine : menghormati riwayat penyakit

Narrative medicine adalah sebuah disiplin baru yang menekankan keterampilan mendengar dan menulis untuk membantu para pekerja medis memahami lebih baik kondisi pasiennya. Bagaimana pekerja medis menyediakan waktu cukup untuk sepenuhnya mendengar. Bagaimana membangun program percakapan dalam sebuah disiplin medis. Bagaimana tajam dokter membayangkan perasaan sakit pasien dan membangun rasa empati terhadap kesukaran-kesukaran yang pasien hadapi. Harapannya, dengan pemahaman bahwa profesi medis merupakan sebuah seni (medical is an art), para dokter mampu mengelola proses penanganan pasien dengan cara-cara yang empatik namun elegan, sehingga kombinasi penyampaian informasi ataupun keluhan yang nyaman oleh pasien dengan cara-cara penerimaan respon yang baik oleh dokter mampu menjadi pendekatan yang efektif dalam menyelesaikan segala permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pasien dengan baik.

Narrative medicine memanfaatkan cerita dari penyakit pasien sebagai cara untuk memahami, mendiagnosa dan mengobati penyakit. Menurut Rita Charon, M.D.,Ph.D., dokter yang mempopulerkan disiplin ini, Narrative medicine memberikan pasien kebebasan untuk bercerita segala hal yang dokter harus tahu tentang kondisi pasien. Dokter melakukan hal yang terbaik untuk tidak berkata satu kata pun, tidak sambil mencatat, namun menyerap dengan sungguh-sungguh semua cerita pasien. Dokter tidak hanya mendengar isi narasi dari pasien, tapi juga cara pasien bercerita, hubungan-hubungan antara masalah kesehatan dengan hal-hal lain, diam nya pasien, bagaimana konsekuensi gejala-gejala penyakit terhadap kehidupan pasien, tanda isyarat, ekspresi, posisi tubuh, dan nada suara. Dengan kata lain dokter memperhatikan narrative's performance pasien secara keseluruhan.

Disiplin ini sangat meyakini adanya the power of listening. Namun untuk menjadi pendengar yang baik, dokter perlu mengembangkan narrative competence antara lain textual skills , creative skills dan affective skills. Textual skills terdiri dari kemampuan mengidentifikasi struktur cerita, mengadopsi berbagai perspektif, dan mengenal metafora dan alusi. Sedangkan creative skills meliputi kemampuan menggambarkan banyak interpretasi, membangun rasa ingin tahu, dan menemukan akhir yang multipel. Kemampuan yang terakhir yang wajib dimiliki yaitu affective skills yang terdiri dari kemampuan untuk memaklumi ketidakpastian cerita dan memasuki suasana hati penderita.

Dokter yang memiliki narrative competence menggunakan waktunya untuk interaksi klinis secara efisien. Dokter tidak hanya memahami istilah penyakit yang sebenarnya, tapi juga bagaimana pasien memahami istilah sakit itu sebelumnya.

Kesimpulan
Narrative medicine berfungsi sebagai jembatan penghubung antara dokter dan pasien, antara guru dan murid kesehatan, antara professional kesehatan, dan bahkan antara sakit dan sehat, sebagaimana semua unsur tersebut berkomitmen untuk menyembuhkan dengan menghargai riwayat penyakit melalui cerita. Proses pengobatan dengan cara ini telah banyak diaplikasikan di rumah sakit-rumah sakit berbagai negara, seperti USA, Jepang, dll. Di Jepang, para dokter, profesor, dan tenaga medis lain secara rutin mengikuti latihan bersama di kelompok-kelompok kecil untuk melatih kemampuan mendengarkan dan empati yang merupakan bagian dari narrative medicine. Di Indonesia, sesuai dengan kultur yang ramah-tamah, seharusnya menjadi potensi tersendiri bagi tenaga medis untuk mengembangkan disiplin ini. Dengan menerapkan ini, diharapkan dapat mengembalikan rasa percaya rakyat Indonesia terhadap dokter Indonesia.

CV PENULIS
Nama : Zukhrofi Muzar
No Telepon : 081375459205/061 770 940 90
Email : zuchro2004@yahoo.com
Pendidikan : Program studi pendidikan dokter FK USU/ sem 8

Riwayat Organisasi
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian SCORE-PEMA FK USU 2007-2008
Ketua Majelis Mahasiswa PEMA FK USU 2007-2008
Staf Ahli Hubungan Luar Negeri ISMKI 2007-2008
APRM working committee IFMSA 2007-2008
MPKPK HMI Komisariat FK USU 2006-2007

Prestasi
Juara 3 lomba hasil penelitian FK USU 2007
Juara 2 lomba essay tentang ginjal se kota Medan 2008

Tidak ada komentar: