Welcome to my blog

Minggu, 13 Maret 2011

Mau merokok? Yuk pikir-pikir lagi..


Sehat merupakan kebutuhan semua manusia. Coba bayangkan rasanya sakit, sangat tidak mengenakkan. Mau apa-apa harus butuh orang lain. Sakit membuat kecenderungan sesorang untuk bergantung pada orang lain dan obat. Sakit mematikan sel-sel tubuh sehingga tidak lagi dapat mendukung organ tubuh untuk bekerja optimal. Sakit juga membutuhkan biaya untuk pengobatan. Namun saya katakan, pada kebanyakan, sakit tidaklah menjadi momok bagi setiap orang.

Kenapa saya katakan demikian, buktinya masih saja banyak orang yang mengalami penyakit yang sama berulang-ulang kali. Meskipun edukasi telah dijalankan secara maksimal pada pasien, masih saja sering perilaku-perilaku yang tidak mendukung untuk sehat masih sering dilakukan. Sebagai contoh, merokok. Banyak pasien penyakit paru obstruktif kronis karena merokok. Merokok telah menjadi kultur di masyarakat. Dikatakan, apa sih enak nya ngumpul-ngumpul tanpa rokok? Apalagi bagi anak laki-laki yg beranjak remaja dikatakan tidak macho jika tidak merokok. Ya, menyuruh orang untuk berhenti merokok tidaklah segampang ”omongan” yang diedukasikan dokter. Banyak faktor yang terlibat didalamnya, antara lain kebiasaan, kemampuan ekonomi, gender, orang tua perokok, dan lain-lain. Bisa saya katakan bahwa edukasi anti rokok yang telah dilakukan oleh siapapun yg terlibat di dalamnya masih ”gagal”, karena kurang meninjau masalah sosial dari fenomena perokok ini.

Lelaki di Indonesia terkenal dengan kebiasaan sosial masyarakatnya yang suka ”nongkrong”, dari nongkrong di warung kopi, pinggir jalan, sampai yang berkelas elit seperti Starbucks, Tiam Ong, KFC Coffee, dan sebagainya. Lagi-lagi, apa sih enaknya nongkrong tanpa kepulan asap? Begitu katanya. Namun jika kita tinjau dari sisi sosial ekonomi, ada tiga jenis perokok. Pertama perokok yang membeli rokok dengan uang sendiri. Perokok ini menganggap ”kemampuan” membeli rokok menunjukkan Ia telah mampu secara finansial, sehingga tidak jarang ada edukasi orang tua, ”nak, kamu boleh merokok, asal sudah kerja”. Perokok jenis kedua adalah perokok yang memakai duit belanja yang diberikan kepadanya. Perokok jenis ini bukan menggunakan kelebihan uang belanja untuk beli rokok, melainkan memprioritaskan uang belanja untuk beli rokok. Perokok jenis ketiga yaitu perokok nongkrong. Perokok nongkrong ini hanya merokok pada kondisi sedang berkumpul dengan teman-teman lain atau yg disebut nongkrong. Ia mengaggap rokok sebagai bagian dari ”pelancar” pergaulan baik sosial maupun bisnis. Perokok nongkrong tidak menjadikan rokok sebagai jalan keluar dari masalah seperti yang dilakukan oleh dua jenis perokok sebelumnya.

Apapun jenis perokok apapun anda, sebaiknya jauh memikirkan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Dengan kata lain, yang bukan bermaksud menyarankan, ”anda merokok hanya jika anda paham etika dan konsekuensi”. Karena Indonesia tidak punya budaya untuk menyakiti orang lain, maka dibuatlah kawasan bebas rokok. Apakah sebelum anda merokok sembarangan tempat, anda minta izin ke setiap orang yang mungkin terhirup asap rokok anda? Jika memang diizinkan secara ikhlas, maka anda tentnya tidak menzalimi orang lain. Perokok juga harus paham dengan konsekuensi yang ditimbulkan. Bagi mereka yang ”terlindungi” dari kesulitan pengobatan akibat merokok, ya silakan saja. Tapi bagi mereka yang untuk uang beli rokok saja sulit, seharusnya pikir-pikir lagi, jangan terlalu dipaksakan untuk menyakiti diri sendiri. Apalagi jika sudah sakit akibat merokok, akan menyusahkan orang lain.

Dengan demikian, usaha-usaha untuk mengkampanyekan anti rokok, sebaiknya meninjau sisi sosial ekonomi. Sehingga timbul kesadaran bagi setiap perokok, ”apakah perilaku merokoknya hari ini tidak akan mengganggu hak orang lain untuk bebas dari dampak sosial ekonomi merokok, dihari ini dan masa yang akan datang?”