Welcome to my blog

Selasa, 23 September 2008

Nasib pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan di Indonesia


Nasib pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan di Indonesia
Penulis : Zukhrofi Muzar, S.Ked.*

Pendahuluan
Dengan diterapkannya desentralisasi kesehatan di Indonesia, memberikan ruang yang lebih bagi pemerintah daerah untuk dapat menyikapi sendiri permasalahan kesehatan yang dihadapi di daerah tersebut. Tentunya hal ini akan mempersempit “lahan” departemen kesehatan dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan kesehatan di Indonesia. Pola sentralisasi dari pemerintahan sebelumnya sudah begitu melekat dalam praktek pemerintahan sehingga akan menimbulkan konflik birokrasi jika berhadapan dengan sistem desentralistik dengan model bottom to up seperti yang terlihat dimasa ini.

Merupakan hal yang wajar jika suatu sistem akan mempertahankan inersianya jika terjadi perubahan kondisi yang mempengaruhi sistemnya. Begitu juga halnya dengan reformasi sentralisasi menjadi desentralisasi ini. Namun jika pemerintah daerah tidak segera menyikapi peluang ini dengan efektif, dalam arti lemahnya respon pemerintah daerah, maka akan berdampak dilaksanakannya sistem desentralistik yang parsial, dimana pemerintah pusat masih memegang berbagai peranan yang seharusnya diperankan oleh pemerintah daerah.

Desentralisasi pembangunan kesehatan bertujuan untuk mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan sistem desentralistik diharapkan program pembangunan kesehatan lebih efektif dan efisien untuk menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sistem desentralistik akan memperpendek rantai birokrasi. Selain itu, sistem desentralistik juga memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya. Keterlibatan masyarakat (community involvement) menjadi kebutuhan sistem ini untuk dapat lebih mengeksplorasi kebutuhan dan potensi lokal..


* Penulis adalah mahasiswa semester 9 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pengertian desentralisasi
Desentralisasi dalam arti umum didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan, manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah (Rondinelli, 1981). Secara lebih umum desentralisasi didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, kekuasaan, perencanaan pemerintahan, dan pengambilan keputusan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah (Mills, dkk, 1989). Dalam bidang kesehatan, desentralisasi kesehatan berarti memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk memanajemen usaha-usaha untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sejatinya masalah kesehatan bukan mutlak urusan pusat, namun merupakan urusan bersama pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Implikasi desentralisasi pembangunan kesehatan
Adanya kebijakan desentralisasi dalam bidang kesehatan akan membawa implikasi yang luas bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Implikasi tersebut dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif.

Dampak positif desentralisasi pembangunan kesehatan, antara lain, adalah sebagai berikut: 1) Terwujudnya pembangunan kesehatan yang demokratis yang berdasarkan atas aspirasi masyarakat. 2) Pemerataan pembangunan dan pelayanan kesehatan, 3) Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah yang selama ini belum tergarap, 4) Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur pemerintah daerah yang selama ini hanya mengacu pada petunjuk atasan, 5) Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan (termasuk pembiayaan kesehatan) tanpa mengabaikan peran serta sektor lain.

Dampak negatif muncul pada dinas kesehatan yang selama ini terbiasa dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat diharuskan membuat program dan kebijakan sendiri. Jika pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya yang handal dalam menganalisis kebutuhan, mengevaluasi program, dan membuat program, maka program yang dibuat tidak akan bermanfaat. Selain itu, pengawasan dana menjadi hal yang harus diperhatikan untuk menghindari penyelewengan anggaran.
Arus desentralisasi semakin menuntut pemotongan jalur birokrasi aparatur pemerintahan. Hal ini menjadi kendala karena perubahannya membutuhkan waktu yang lama dan komitmen dari aparatur pemerintah.

Fakta yang terjadi di lapangan
Data APBN 2008 menunjukkan, ternyata 65 persen dari total anggaran berputar di daerah, 35 persen di antaranya transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, dan dana otonomi khusus. Sebanyak 30 persen lainnya adalah kegiatan pemerintah pusat yang dilakukan di daerah. Dengan hanya 35 persen APBN bagi belanja pemerintah pusat untuk keperluannya sendiri, keberhasilan aktivitas pembangunan dari perputaran 65 persen APBN di daerah menjadi sangat menentukan

Menurut Tagela (2001), beberapa kendala umum yang dihadapi daerah (Kabupaten/Kota) dalam melaksanakan desentralisasi adalah terbatasnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana, manajemen, sumber daya alam, pendapatan asli daerah, dan mental aparatur yang sudah terbiasa dengan mengikuti petunjuk atasan. Disamping itu, kesulitan dalam merubah cara pandang masyarakat bahwa mereka adalah bagian dari subjek pembangunan, tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan yang menunggu pelayanan.

Pihak DPRD diharapkan dapat menghasilkan peraturan daerah yang memberi iklim kondusif terhadap pembangunan kesehatan di daerah. Kebiasaan ego-sektoral yang selama ini terjadi juga merupakan kendala dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan, karena pembangunan kesehatan hanya dapat berhasil jika terdapat kerjasama lintas sektor yang baik.

Nasib pelaksanaan desentralisasi kesehatan di masa yang akan datang
Desentralisasi kesehatan di Indonesia saat ini dijalankan dengan tidak ideal. Walaupun beberapa peraturan hukum tentang desentralisasi telah diterbitkan oleh pemerintah pusat namun departemen kesehatan masih terlihat ingin sentralisasi. Di sisi lain pemerintah daerah terpaksa harus desentralisasi karena harus mengikuti peraturan hukum. Akibatnya terjadi pelaksanaan kebijakan yang parsial. Dalam konteks pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan di Indonesia, terdapat ketidakjelasan antara keinginan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menjalankan desentralisasi dengan total.

Dalam analisis stakeholder ada berbagai pihak yang kuat mendukung desentralisasi antara lain DPR, DPD, Departemen Dalam Negeri, dan sebagian pemerintah daerah. Oleh karena itu, probabilitas amandemen UU 32/2004 kecil.

Kesepakatan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk melaksanakan desentralisasi yang ideal mungkin terjadi. Dalam hal ini harus tercipta keinginan yang besar antara pemerintah pusat dan daerah untuk merealisasi desentralisasi secara total. Pengalaman di berbagai Negara menunjukkan bahwa perbedaan pendapat antara pusat dan daerah merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan desentralisasi.
Penutup
UU 32/2004 telah menjelaskan bagaimana sejatinya sebuah reformasi dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Namun dalam pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan, masih terdapat ketidaksamaan visi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi kesehatan yang ideal sebagai usaha untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010 harus segera direalisasikan mengingat proses pembuatan undang-undangnya yang telah memakan waktu lama. Untuk itu perlu adanya sinergi antara komitmen pemerintah pusat untuk menjalankan desentralisasi kesehatan secara utuh dengan akselerasi sumber daya pemerintah daerah untuk memperjuangkan desentralisasi kesehatan dan sekaligus bertanggungjawab terhadap terjaminnya kualitas pelaksanaan program-program kesehatan di daerah.

1 komentar:

rikpa mengatakan...

bagaimana meningkatkan kesiapan masyarakat dan aparatur pemerintah dalam mendukung sistem desentralisasi kesehatan ?