Selasa, 17 Juli 2012
Mom’s story about the bees
A discussion of health service management in Indonesia and its effect to the number of Indonesian citizens who go abroad for seeking medical treatment
Smoking Should be Banned in Public Places
Minggu, 13 Maret 2011
Mau merokok? Yuk pikir-pikir lagi..
Sehat merupakan kebutuhan semua manusia. Coba bayangkan rasanya sakit, sangat tidak mengenakkan. Mau apa-apa harus butuh orang lain. Sakit membuat kecenderungan sesorang untuk bergantung pada orang lain dan obat. Sakit mematikan sel-sel tubuh sehingga tidak lagi dapat mendukung organ tubuh untuk bekerja optimal. Sakit juga membutuhkan biaya untuk pengobatan. Namun saya katakan, pada kebanyakan, sakit tidaklah menjadi momok bagi setiap orang.
Kenapa saya katakan demikian, buktinya masih saja banyak orang yang mengalami penyakit yang sama berulang-ulang kali. Meskipun edukasi telah dijalankan secara maksimal pada pasien, masih saja sering perilaku-perilaku yang tidak mendukung untuk sehat masih sering dilakukan. Sebagai contoh, merokok. Banyak pasien penyakit paru obstruktif kronis karena merokok. Merokok telah menjadi kultur di masyarakat. Dikatakan, apa sih enak nya ngumpul-ngumpul tanpa rokok? Apalagi bagi anak laki-laki yg beranjak remaja dikatakan tidak macho jika tidak merokok. Ya, menyuruh orang untuk berhenti merokok tidaklah segampang ”omongan” yang diedukasikan dokter. Banyak faktor yang terlibat didalamnya, antara lain kebiasaan, kemampuan ekonomi, gender, orang tua perokok, dan lain-lain. Bisa saya katakan bahwa edukasi anti rokok yang telah dilakukan oleh siapapun yg terlibat di dalamnya masih ”gagal”, karena kurang meninjau masalah sosial dari fenomena perokok ini.
Lelaki di Indonesia terkenal dengan kebiasaan sosial masyarakatnya yang suka ”nongkrong”, dari nongkrong di warung kopi, pinggir jalan, sampai yang berkelas elit seperti Starbucks, Tiam Ong, KFC Coffee, dan sebagainya. Lagi-lagi, apa sih enaknya nongkrong tanpa kepulan asap? Begitu katanya. Namun jika kita tinjau dari sisi sosial ekonomi, ada tiga jenis perokok. Pertama perokok yang membeli rokok dengan uang sendiri. Perokok ini menganggap ”kemampuan” membeli rokok menunjukkan Ia telah mampu secara finansial, sehingga tidak jarang ada edukasi orang tua, ”nak, kamu boleh merokok, asal sudah kerja”. Perokok jenis kedua adalah perokok yang memakai duit belanja yang diberikan kepadanya. Perokok jenis ini bukan menggunakan kelebihan uang belanja untuk beli rokok, melainkan memprioritaskan uang belanja untuk beli rokok. Perokok jenis ketiga yaitu perokok nongkrong. Perokok nongkrong ini hanya merokok pada kondisi sedang berkumpul dengan teman-teman lain atau yg disebut nongkrong. Ia mengaggap rokok sebagai bagian dari ”pelancar” pergaulan baik sosial maupun bisnis. Perokok nongkrong tidak menjadikan rokok sebagai jalan keluar dari masalah seperti yang dilakukan oleh dua jenis perokok sebelumnya.
Apapun jenis perokok apapun anda, sebaiknya jauh memikirkan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Dengan kata lain, yang bukan bermaksud menyarankan, ”anda merokok hanya jika anda paham etika dan konsekuensi”. Karena Indonesia tidak punya budaya untuk menyakiti orang lain, maka dibuatlah kawasan bebas rokok. Apakah sebelum anda merokok sembarangan tempat, anda minta izin ke setiap orang yang mungkin terhirup asap rokok anda? Jika memang diizinkan secara ikhlas, maka anda tentnya tidak menzalimi orang lain. Perokok juga harus paham dengan konsekuensi yang ditimbulkan. Bagi mereka yang ”terlindungi” dari kesulitan pengobatan akibat merokok, ya silakan saja. Tapi bagi mereka yang untuk uang beli rokok saja sulit, seharusnya pikir-pikir lagi, jangan terlalu dipaksakan untuk menyakiti diri sendiri. Apalagi jika sudah sakit akibat merokok, akan menyusahkan orang lain.
Dengan demikian, usaha-usaha untuk mengkampanyekan anti rokok, sebaiknya meninjau sisi sosial ekonomi. Sehingga timbul kesadaran bagi setiap perokok, ”apakah perilaku merokoknya hari ini tidak akan mengganggu hak orang lain untuk bebas dari dampak sosial ekonomi merokok, dihari ini dan masa yang akan datang?”
Minggu, 13 Februari 2011
Demokrasi itu lebih dari sekedar kebebasan berbicara
Demokrasi itu lebih dari sekedar kebebasan berbicara
oleh : dr. Zukhrofi Muzar
Baru-baru ini diadakan International Conference Workshop of Democracy Education at Municipal Level (Local Democracy) di Medan. Kegiatan ini dilaksanakan untuk merumuskan rekomendasi dalam pengembangan pendidikan demokrasi lokal yang dapat diterapkan di negara-negara di wilayah Asean. Dalam survey yang dilakukan, ditemukan bahwa guru dan murid di propinsi kekurangan skill dan pemahaman tentang demokrasi lokal. Kenyataan ini menggelitik penulis untuk membahas tentang apa itu demokrasi. Demokrasi seharusnya tidak hanya dipahami oleh akademisi, tokoh politik, mahasiswa, guru, tokoh masyarakat, melainkan oleh semua masyarakat Indonesia yang berumur di atas 17 tahun atau kawin, dengan kata lain memiliki hak memilih dalam pemilihan umum. Kehidupan yang demokratis dalam konteks sistem desentralisasi yang kita anut sekarang berarti mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi bukan hanya dalam konteks nasional, tapi juga dalam konteks lokal. Namun selama ini, mungkin demokrasi hanya dipahami oleh segelintir orang yang berkecimpung di pemerintahan, politik sehingga demokrasi sendiri belum dapat kita lihat aplikasinya sepenuhnya.
Toleransi, HAM dan Civil Society
Jika kita membahas tentang demokrasi, maka tidak bisa dilepaskan dari Toleransi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Civil Society. Memijak-mijak nilai-nilai toleransi, HAM dan civil society sama dengan memijak-mijak demokrasi.
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. (wikipedia).
Toleransi dilaksanakan dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi manusia (HAM). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak terlahir di dunia. Hak tersebut menyatu dalam diri seseorang tanpa mengenal bangsa, warna kulit, agama, afiliasi politik dan lain-lainnya. Semua orang terlahir dengan hak yang sama sama tanpa pengecualian. (wikipedia) Terdapat 10 hak dasar dari setiap manusia yang wajib dijamin oleh setiap negara, yaitu: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, Hak Mengembangkan kebutuhan dasar, Hak memperoleh keadilan, Hak atas kebebasan dari perbudakan, Hak atas rasa aman, Hak atas kesejahteraan, Turut serta dalam pemerintahan: hak pilih dalam pemilihan umum dan hak untuk berpendapat, Hak perempuan dan Hak anak. Sepuluh hak dasar ini diawasi pelaksanaannya oleh KOMNAS HAM.
Nilai-nilai toleransi dan HAM tersebut diaplikasikan dalam hubungan sosial antar kelompok-kelompok yang disebut dengan Civil society. Civil Society dimaknai sebagai organisasi-organisasi yang tumbuh di masyarakat dalam menjalankan proses demokrasi. Prinsip civil society menurut Chandoke, adalah: kritis, rasional, dan kegiatan publik (ucapan dan tindakan). Civil society adalah media bagi individu-individu dalam menjalankan tanggung jawab sebagai warga negara.
Demokrasi transisi di Indonesia
Sejarah kehidupan demokasi di Indonesia dimulai dari demokrasi liberal (masa kemerdekaan), demokrasi terpimpin, (masa Soekarno), demokrasi Pancasila (masa Soeharto), dan demokrasi transisi (sekarang ini). Transisi demokrasi adalah suatu terminologi yang diberikan atas suatu negara yang mengalami perubahan mendasar ke arah sistem demokrasi. Transisi demokrasi akan memberika dampak-dampak signifikan khususnya di sektor politik, ekonomi, pemerintahan, dan keamanan.
Jack Snyder, penulis buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, 2000,. Dalam uraiannya sejarah menunjukkan, demokratisasi, tepatnya masa transisi ke arah demokrasi, sering menimbulkan perang, SARA, bahkan disintegrasi negara-bangsa. Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab untuk mencegah beratnya dampak sosial yang ditimbulkan oleh demokratisasi. Karena dalam demokrasi, kekuatan pemerintah adalah hukum, yang jelas dan tegas batasannya. Hukum wajib melindungi seluruh warga negara termasuk kaum miskin dan minoritas, bukan kaum yang berduit dan mayoritas saja.
Di sektor ekonomi, Amartya Kumar Sen, penerima nobel bidang ekonomi menyebutkan bahwa demokrasi dapat mengurangi kemiskinan. Namun ini bisa dicapai jika didukung oleh kebijakan legislatif dan program eksekutif yang pro-rakyat. Jika mengacu pada data Bank Dunia 2009 berdasarkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), Indonesia berada di level 18 dunia. Indonesia masuk dalam G-20, kumpulan 20 negara dengan volume ekonomi terbesar di dunia. Namun wajar PDB Indonesia besar karena jumlah penduduk yang besar dan masih tergantung produk impor. Angka kemiskinan di Indonesia pun masih begitu-begitu saja. Berdasarkan data badan Pusat Statistik (BPS) per maret 2010, masyarakat miskin Indonesia mencapai 13,33 persen atau sebanyak 31,02 juta orang. Lemahnya ekonomi kan berdampak pada masalah Sumber Daya manusia (SDM). SDM yang buruk akan memperlemah demokrasi.
Pemberantasan korupsi di lembaga-lembaga pemerintah adalah langkah yang baik dalam demokrasi transisi. Namun perjuangannya masih terkendala oleh tradisi politik feodal, birokratis dan sentralistik yang sudah mengakar. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Indonesia menempati urutan pertama alias menjadi negara terkorup di Asia, dengan skor 9,25 (2004), kemudian 9,10 (2005) dan 8,16 (2006).
Tanggung jawab warga negara dalam kehidupan demokrasi
Tanggung jawab warga negara dalam demokrasi adalah partisipasi, kesopanan, kesabaran. Untuk kesuksesan demokrasi, warga negara harus aktif, tidak pasif, karena mereka tahu bahwa kesuksesan dan kegagalan pemerintah adalah tanggung jawab mereka, bukan orang lain. Minimal, warga negara harus mengedukasi dirinya tentang isu-isu kritis yang sedang dihadapi masyarakat, sehingga mereka bisa memberikan suara nya (voting) secara cerdas.
Warga negara harus belajar tentang apa itu demokrasi. Demokrasi bukanlah kebebasan penuh, melainkan sebuah bentuk pelembagaan dari kebebasan (the institutionalization of freedom). Demokrasi memang memiliki ide dan prisip tentang kebebasan, namun juga terdiri dari praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang telah terbentuk melalui proses yang panjang. Kebebasan ekspresi dan berbicara, khususnya tentang isu politik dan sosial, adalah sumber hidup demokrasi. Kebebasan berbicara adalah hak yang fundamental, tapi bukan absolut dan tidak boleh digunakan untuk menimbulkan atau menghasut terjadinya kerusakan, intimidasi dan subversi dari institusi demokratis. Masyarakat yang demokratis berkomitmen terhadap nilai toleransi, kerjasama dan kesepakatan. Menurut Mahatma Gandhi, "Intoleransi adalah cikal bakal dari kekerasan dan sebuah masalah terhadap tumbuhnya semangat demokrasi yang sesungguhnya.” Sikap intoleransi adalah cikal bakal tindakan anarkis dan munculnya disintegrasi bangsa.
Transisi demokrasi di Indonesia yang sedang berlangsung ini, memang cukup berat, namun akan berjalan dengan baik jika mendapat dukungan penuh dari masyarakat dengan lebih memahami tentang apa itu demokrasi dan belajar mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, demokrasi itu lebih dari sekedar kebebasan berbicara.
Rabu, 25 Agustus 2010
Fenomena dokter baru tamat
Sebelumnya saya mohon maaf jika dalam penyampaian ada yang menyinggung hati kolega sekalian. Saya akan membahas tentang yang saya anggap urgent untuk memperjelas nasib dokter umum baru tamat.
Setelah lulusan para dokter umum di Universitas negeri pun tidak lagi diakui pemerintah, maka kami dokter lulusan negeri masih ikut saja terhadap aturan bahwa harus mengikuti ujian kompetensi dokter indonesia (UKDI).
Kami pun mengikuti ujian, dengan materi ujian yang hampir 100% diambil dari bahan kapita selekta yang notabene menjadi acuan pegangan anak FK UI. Walaupun terkadang ilmu yang kami dapatkan tidak sesuai dengan isi kapita selekta, tapi yaah,, harus tetap diikuti, agar LULUS UKDI.
Sebelum mengikuti ujian UKDI- program yang menelan dana yang cukup besar ini- Kami pun harus "membayar" program pemerintah ini, seolah-olah siapapun yang membuat program ini "kurang anggaran". Dan kami pun membayar pelaksanaan program ini, untuk memperjuangkan nasib kami.. Ya,, tamat dokter tanpa ujian UKDI alamat pengangguran. Atau.. kalo coba-coba praktek, alamat berhubungan dengan hukum... nasib..nasib...
Oke, Kami bayar, ikut ujian, kemudian lulus. Tentunya segala sesuatu yang diawali dengan memberikan "bayaran" tentunya harus mendapatkan kontrapretasi yang sesuai. Kalau tidak.. ya itu namanya dibodoh2in!!
Beberapa hal yang menurut saya sudah tidak benar lagi antara lain :
1. Pelayanan petugas administrasi
Saya sangat kecewa dengan para petugas administrasi di KKI. Mereka tidak bertindak seperti melayani. Sebaiknya mungkin lebih baik diambil pegawai Bank aja kali ya. Saya yakin akan jauh lebih ramah.
2. Kerjasama administrasi KDI-KKI
Kami disuruh mengirimkan legalisir ijazah dokter ke KDI. Katanya KDI akan mengirim seluruh berkas ke KKI. Tapi sewaktu meminta resi ke KKI, petugas KKI bilang "dokter ijazah nya mana?? dokter ga bisa ambil resi kalau tidak melengkapi ijazah sekarang". Kesannya saya yang salah!. (teman saya pernah mengalami leges ijazah 2 kali, jadi saya masih lumayan sih baru sekali :-p)
Kami pun mengecek legalisir ijazah tadi ke KDI (Karena ada kami tidak ada pertinggal leges ijazah teman-teman yang dikirim dari Medan) dan mendapatkan bahwa leges ijazah kami hilang!
3. Posisi kantor KKI
Menurut Saya dan dari masukan dari beberapa temans, posisi kantor KKI itu sangat tidak strategis untuk lembaga "sepenting" KKI. Saya seperti mencari alamat rumah teman yang tinggal dikompleks. Alangkah mudahnya jika terletak dipinggir jalan besar, atau lebih baik lagi ga usah la jauh-jauh dari IDI/KDI. Kok kalian berjarak? seperti "lagi marahan gitu deh... :-p
4. Waktu penerbitan STR harus lebih cepat dan serentak
Mohon lah lembaga lembaga yang ngurusin STR ini mbok kerjasama dengan depkes. STR ini kita butuh utk cari kerja, bukan utk pajangan!. Kalaulah STR ini keluarnya tidak sinkron dengan dibukanya PTT oleh depkes, kesian dong temen-temen yang udah lulus UKDI, tapi masih dihambat-hambat untuk mengabdi di kampung-kampung...
Nah, mengenai penerbitan STR, kalau mau adil ya harus serentak. Mau asal universitas nya dari jakarta, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, atau Papua, harus sama dong. Prinsip keadilan harus dipegang, biar kami yang di daerah ga iri, dan harus ronggoh kocek lagi utk pesen tiket ke Jakarta agar keluar STR lebih cepat.
Itulah sederet hal-hal yang harus dievaluasi agar tidak makin banyak lagi temen-temen kolega saya yang baru tamat untuk masuk dalam fenomena dokter pengangguran!
Salam sejawat
Kamis, 17 September 2009
The fate of decentralization by the health sector in Indonesia
By : Zukhrofi Muzar
By implementing decentralization of the health sector in Indonesia, it will give a larger authority for province authorities to handle health problems faced in each provnce by itself. Of course it will narrow “the area” of departement of health in implementing health policies in Indonesia. The centralization pattern of the previous government has become attached in government practice, thus It can lead to conflict of bureaucracy when facing to decentralistic system with its bottom-up model like happens today.
It’s a natural that a system will sustain its inertia if changing happens, likewise with this reformation from centralization to decentralization. But if the government does not hustle to take a stance of this chance effectively, in other words lack of province authoritries responses, it will affect to implementation of decentralization partially, where the central government remain its stranglehold as a main role that actually ought to be at the province government use.
The existence of decentralization policy will bring about a broad implication to province government and community. It can be positive impacts and negative impact too. The positives are : 1) Realization of health development democratically based on people aspiration, 2) Equality of health development and services, 3) Optimalization of potency of health development in province and rural areas that is not cultivated so far, 4) To urge the initiatives and creative attitudes of province government apparatus that is only refer to boss instruction before, 5) To develop a pattern of independency in health services (Including the health financing) without overlooking other sectors role. The negatives come up from government duty of health which ues of the policy comes out from the central government, to be required to make their own programs and policy. If the province government doesn’t have reliable resources to analyze needs, to evaluate programs, the programs that will be made will be pointless and a waste of funding. On that note, the control of funds must be noticed to avoid corruption.
Current decentralization requires more cutting-edge of bureaucracy in government apparatus. This becomes a hurdle since this change needs longer time and commitment from government apparatus.
Law 32/2004 has explained how genuine of reformation from centralization to decentralization is. But in the decentralization of health sectors, there is inequality remaining between vision of province and central government. Implementation of health decentralization is ideal as an attempt to realize Indonesia’s vision in 2010, to be realized soon, since it took long time to make the law. So, there must exist a synergy between the commitment of central government to run the health decentralization integrally and to accelerate and boost province authorities resources in the struggle for health decentralization and at the same time to be responsible for the guarantee quality of implementation health programs in province and rural areas.