Welcome to my blog

Senin, 01 Oktober 2007

Menjadi Mahasiswa Kedokteran: Membangun Mindset yang Positif


Penulis: Zukhrofi MuzarMahasiswa semester VII FK USU
Suatu perubahan yang paling mendasar dari menjadi mahasiswa adalah kemandirian. Kemandirian tersebut membuka lebar peluang untuk menjadi yang diinginkan. Semua diserahkan sepenuhnya kepada seorang mahasiswa. Mau jadi sebenarnya mahasiswa atau terpaksa berpura-pura menjadi mahasiswa. Bagaimana dengan Anda mahasiswa kedokteran ?
Memang beragam motivasi membuat orang menjadi mahasiswa kedokteran. Mulai dari keinginan untuk mengobati sampai keinginan untuk mencapai kemapanan finansial. Itu wajar, namanya saja manusia. Namun ketika motivasi yang beragam itu tidak diluruskan dalam kultur lingkungan ke-fk-annya, maka bencana lah yang akan datang.
Ya, bencana bagi masyarakat dan bencana bagi profesi ini. Perlu kita sadari banyak fakta yang memperlihatkan bahwa posisi dokter kini tidak lagi sesuai dengan nilai moral yang seharusnya diemban. Isu malpraktek telah merendahkan nilai profesi dokter. Ditambah lagi banyaknya pribumi yang mencari pertolongan kesehatan ke luar negri sehingga Indonesia sepertinya tidak mampu memperjuangkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Tidak hanya itu, seorang dokter penjara di pulau jawa pun pernah mengalami pemukulan di bagian muka saat menjalankan suatu tugas. Kelemahan profesi dokter kini menjadi bahan yang asyik diobrolkan di mana-mana. Lantas, mengapa ingin menjadi dokter ?
Tiga hal saja yang dapat menjadi kemungkinan alasan dipilihnya jurusan dokter. Yang pertama program studi pendidikan dokter masih dalam grade spmb urutan atas setelah jurusan-jurusan favorit di teknik. Yang kedua karena disuruh orang lain, dan yang ketiga memang memiliki keinginan murni dari diri sendiri untuk menjadi dokter.
Alasan yang berbeda-beda yang menjadi motivasi untuk menjadi dokter tersebut dapat berubah sejalan dengan proses di bangku kuliah. Proses apa? Proses aktif duduk di ruang kuliah setelah itu pulang, hang out dengan teman-teman geng? Atau tidak kuliah, sibuk dengan aktivitas lain di luar kuliah atau apapun itu. Bisakah sense of care itu tumbuh hanya dengan itu? Dapatkah rasa kecintaan dengan profesi tumbuh hanya dengan itu?
Rasa cinta tumbuh jika ada kebersamaan, kepedulian, rasa ingin tahu, rasa pengorbanan akan suatu yang dicintai. Begitu juga dengan rasa cinta akan bidang yang akan menjadi masa depan kita ini. Siapa lagi yang mempertahankan marwah profesi ini kalau tidak dokter dan mahasiswa kedokteran. Memilih studi penddikan dokter berarti kita wajib siap untuk bertanggung jawab terhadap profesi ini.
Saat menjadi mahasiswa tentu tridharma perguruan tinggi lah yang menjadi acuan. Tiga poin tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian. Terkadang mahasiswa terjebak Jangan terjebak mendefinisikan tiga poin tersebut dalam ruang lingkup sempit. Pendidikan dievaluasi dengan indeks prestasi an sich, Penelitian mahasiswa hanya dapat berjalan jika didapatkan judul penelitian dari professor nya, dan pengabdian terjebak dengan proyek pengabdian masyarakat yang diadakan sekali setahun. Padahal pendidikan bisa didapat dimana saja, di bangku kuliah, organisasi, sosialisasi yang produktif, kursus-kursus bahasa, kursus komputer, pelatihan, dan lain-lain. Penelitian dapat dilakukan mahasiswa secara mandiri tanpa menunggu bimbingan professor. Pengabdian dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dengan essensi mengorbankan apa yang kita miliki untuk masyarakat, sebagai contoh aktif dalam organisasi masyarakat sekitar rumah, menyalurkan aspirasi masyarakat ke pemerintah lewat sajak, essay ataupun demonstrasi dan lain-lain. Jadi makna tridharma perguruan tinggi tersebut sangatlah luas.
Menjadi mahasiswa kedokteran, seharusnya tidak luput dari berpikir untuk hari ini menjadi mahasiswa dan berpikir untuk masa yang akan datang, menjadi dokter. Banyak hal yang harus dilakukan dan banyak hal yang harus dipersiapkan. Mahasiswa sebagai cahaya bangsa harus dapat memberikan masukan terhadap segala hal di lingkungannya. Jika mahasiswa tidak lagi memberikan kontribusi terhadap sekelilingnya, maka dapat dikatakan bahwa “mahasiswa itu sedang mati”.
Setiap hal positif yang dilakukan semasa menjadi mahasiswa sangat bermanfaat untuk menjadi dokter nantinya. Nah lagi-lagi mindset (cara pandang) yang umum di kalangan mahasiswa kedokteran yaitu setelah menjadi dokter yaitu “buka praktek”. Ini memperlihatkan bahwa pada umumnya mahsiswa kedokteran beranggapan bahwa menjadi dokter adalah akhir sebuah perjalanan. Padahal menjadi dokter adalah awal dari perjalanan karir. Seorang dokter dapat menjadi pengusaha, peneliti, staf pengajar, aktivis LSM, bekerja di luar negeri, atau pakar ekonomi kedokteran dan lain-lain. Persepsi sempit di kalangan mahasiswa kedokteran ini tumbuh karena saat menjadi mahasiswa, mahasiswa tidak memperluas wawasan baik lokal maupun global. Menjadi seorang dokter adalah menjalani dunia yang berbeda dibandingkan dengan menjadi mahasiswa kedokteran.
Untuk menjadi mahasiswa dan dokter yang dicita-citakan tersebut, dibutuhkan minat dan bakat dari mahasiswa itu sendiri. Seorang yang meraih kesuksesan sejati, yaitu seseorang yang memiliki bakat sekaligus memiliki minat yang tinggi. Ia memiliki kemampuan untuk mengembangkan bakatnya guna meraih karier yang gemilang. Minat dan bakat adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah minat. Dengan modal minat yang kuat, tantangan dan hambatan apapun dapat diminimalisir. Selanjutnya melalui celah sekecil apapun tantangan dan hambatan tersebut dapat diubah menjadi peluang kesuksesan. Minat yang tinggi tersebut akan membentuk mindset seseorang terhadap target yang ingin dicapai dalam hidup. Sesungguhnya inilah yang terpenting. Dengan mindset yang tinggi, seseorang akan diberikan sang pencipta kemampuan untuk mewujudkan mindset tersebut tanpa memandang apa latar belakang dan bagaimana seseorang tersbut sekarang. Dengan menciptakan mindset yang positif di dalam diri mahasiswa dan senantiasa berdoa, yakinlah bahwa segala hal yang dicita-citakan seorang mahasiswa akan berada di genggaman. Sungguh bahwa mindset yang positif di diri manusia adalah anugerah Tuhan yang tidak dapat dinilai harganya.

Harmonisasi Sistem PBL dan Aktivitas Organisasi Kemahasiswaan di Fakultas Kedokteran


Kontroversi eksistensi PBL di kampus memang menjadi masalah yang belum selesai bagi aktivis-aktivis kampus yang peduli dengan efek sistem ini terhadap regenerasi organisasi.
PBL hadir untuk menjawab tantangan profesi dokter ke depan untuk lebih professional dalam bertindak dalam pencapaian five-star doctor. Secara objektif mari kita memandang apakah PBL benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kualitas output dokter?
Dengan diberlakukannya sistem ini menuntut mahasiswa kedokteran untuk selalu belajar ilmu kedokteran terus-menerus. Tutorial yang lebih menekankan peran aktif mahasiswa untuk memecahkan masalah dapat memupuk sistematika berfikir serorang dokter. Lebih lagi setelah beriskusi dengan dokter-dokter dan mahasiswa di FK USU saya mengambil kesimpulan bahwa sistem PBL yang dijalankan secara ideal akan dapat memupuk skill decision maker, communicator dan Manager yang biasanya hanya didapat melalui organisasi. Dengan kata lain, dengan diberlakukannya sistem PBL, akan dapat membantu peran organisasi kemahasiswaan di kampus untuk mencetak 5-star doctor
Namun masalah muncul ketika mahasiswa terlalu sibuk dengan kuliahnya sehingga tidak dapat beraktivitas ekstra. Hal ini tentu membuat resah para aktivis organisasi kampus. Kegiatan-kegiatan yang biasanya ramai dengan mahasiswa menjadi kehilangan pasar. Lantas apa yang dapat aktivis mahasiswa lakukan?
Yang pertama adalah mari memandang bahwa pemberlakuan sistem PBL adalah merupakan sebuah revolusi pendidikan kedokteran yang wajar terjadi. Sistem ini jelas akan menjadi jalan keluar bagi penurunan kulaitas dokter Indonesia.
Selanjutnya, introspeksi kembali filosofis pendirian suatu organisasi. Dasarnya adalah kebutuhan. Jika kebutuhan-kebutuhan sudah terpenuhi secara sendirinya, maka sebenarnya organisasi itu tidak dibutuhkan lagi. Sehubungan dengan eksistensi organisasi intra kampus, mari tentu merujuk ke program pengembangan organisasi kemahasiswaan intra kampus (bisa ditanya ke bagian kemahasiswaan fakultas) dan tata laksana organisasi kemahasiswaan yang dibuat oleh badan legislatif kemahasiswaan di kampus. Sebenarnya untuk apa pendirian organisasi intra kampus? Apakah organisasi didirikan hanya untuk menyaingi organisasi lain? Atau mempertahankan eksistensi melalui regenerasi, atau hanya untuk membangun komunitas? Atau menciptakan dokter yang berkarakter? Atau apa? Tujuan yang ada haruslah kongkrit dan dapat dievaluasi.
Kemudian beranjak dari filosofis dan tujuan itu, sesuaikan dengan masalah yang muncul akibat sistem PBL. Masalah tersebut muncul karena sistem ini adalah sistem baru, malah tidak wajar seandainya perubahan sistem ini tidak menimbulkan masalah, artinya tidak ada respon. Merubah sistem PBL saat ini tentu merupakan hal yang sia-sia dan terlalu berat jika dilakukan saat ini. Sistem tidak dapat berjalan baik hanya dengan abrakadabra. Membutuhkan waktu dan pengorbanan segala hal dalam mengadaptasikan sistem ini.
Dengan demikian hal yang bijak yang dapat kita lakukan yaitu dengan mencari celah kekurangan sistem PBL dalam menciptakan dokter yang berkualitas untuk dijawab melalui aktivitas organisasi. Organisasi-organisa si kampus dapat mengambil peran maksimal dalam menciptakan community leader, care provider dan manager yang belum terlihat nyata melalui PBL. Sedangkan skill communicator, decision maker yang sudah didapat melalui tutorial dapat lebih diasah melalui organisasi.
Selain itu resetting jadual dan format kegiatan dari kegiatan-kegiatan yang berskala besar di satu waktu dapat dimodifikasi dengan kegiatan-kegiatan kecil dengan waktu yang berbeda-beda sehingga dapat mengcover mahasiswa-mahasiswa dengan jadwal yang berbeda-beda. Kegiatan-kegiatan yang ada harus menekankan pada evaluasi, target, kemampuan internal organisasi dan discipline of execution. Manajemen kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan bersama-sama dengan difasilitasi oleh organisai kemahasiswaan tertinggi di fakultas. Di FK USU, organisasi-organisa si kemahasiswaan kampus mulai menemukan titik terang dari manajemen jadual kegiatan-kegiatanny a. Seluruh organisai saling bekerjasama untuk menyesuaikan jadual, sasaran dan target yang akan dicapai. Sudah ada beberapa kegiatan yang mahasiswa-mahasiswa dengan sistem PBL sebagai panitia pelaksana dan alhamdulillah berlangsung sukses. Hal ini membuktikan PBL tidak menghentikan mahasiswa untuk beraktivitas ekstra kurikuler.
Kemudian peran mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan sebagai fungsi kontrol terhadap berlangsungnya sistem PBL yang ideal harus dikuatkan. Ketersediaan sarana dan prasarana, kualitas fasilitator, kesediaan waktu fasilitator untuk mahasiswa, manajemen jadual kuliah dapat menjadi bahan pengawasan sehingga sistem PBL benar-benar mampu meningkatkan afektif, kognitif dan psikomotorik mahasiswa yang merupakan indikator keberhasilan pembelajaran mahasiswa dengan sistem PBL.

Selanjutnya kuatkan keyakinan bahwa organisasi kemahasiswaan masih dibutuhkan di kampus. Kita yang berkecimpung di organisasi-organisa si tentu memiliki skill agitatif, persuasif yang selalu terasah. Mari selalu memotivasi mereka untuk berorganisasi dan yakinlah bahwa bibit-bibit unggul organisasi itu akan selalu ada karena Anda, aktivis mahasiswa. Sistem bukanlah hal yang kongkrit untuk dipermasalahkan dan akan membuang terlalu banyak energi. Namun strategi dan trik kita dalam memanfaatkan setiap kesempatan untuk mewujudkan keidealismean yang kita cita-citakan adalah hal yang nyata, sederhana dan solutif untuk dapat kita lakukan.
ZUKHROFI MUZARKETUA MAJELIS MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN USU PERIODE 2007-2008
+6281375459205